Rindu Selamanya

selamanya ada rasa rindu
kepadamu saat kau jauh
selamanya ada rasa cinta
berbunga, merekah
selamanya kau tetaplah miliku
tiada satupun yang menggantikanmu
selamnaya ku ingin slalu denganmu
meredam suka dan duka.....

namun rindu,
kini harus bersedu
kau kembali kepadaNya
namun cinta,
kini harus terpisah
kau bahagia bersamaNya

Tuhan peliharalah dia,
rengkuhlah dirinya
bersamaMu saja dia bahagia
Tuhan katakan kepadanya
aku rindu,
rindu selamnaya

TERNYATA SUSAH MENULIS PUISI ITU ...

"Ini merupakan kisah yang tidak akan pernah ku lupa hingga suatu ketika."

Sabtu kemarin (19/04/08) aku terbang ke Depok. Dengan bergegas, ku pasang kedua sayapku, agar bisa kupastikan untuk tahan lama di udara, melintasi kawasan Depok. Perasaanku campur aduk, tinggi dan rendah. Senang dan deg-degan. Pasalnya 3 puisi ku pernah aku kirimkan kepada awan yang mensublimasi tulisan dan ketika dibaca, halilintar pun menggelegar seraya mengirimkan hujan kepada ku. Betapa senangnya aku ketika itu. Hasilnya, aku mesti melayang ke Depok, untuk memastikan apakah puisiku itu patut untuk dibaca orang ataupun di publikasi.

Dalam pelayanganku ke Depok, aku agak sulit menemukan lokasi yang ku maksud. Sebuah rumah bernama Rumah Matahari, membuatku uring-uringan mencari. Perempatan Ciliwing telah ku sebrangi, yang ternyata ada 3 daerah bernama perempatan ciliwung. Satu memang daerah itu dialiri oleh sungai ciliwung, satu merupakan sebuah gang, nama jalannya ciliwung, ada perempatan, jadi dinamakan perempatan ciliwung, satu lagi jalan yang agak besar bernama jalan keadilan, ada perempatan di sana, namanya perempatan ciliwung. Aku melewati tiga daerah yang di maksud. 2 jam aku melayang ke seluruh kawasan Depok itu, akhirnya ku temui juga Rumah Matahari.

Pas aku masuk kedalam rumah itu, pas ketika puisi ketigaku di baca oleh malaikat pengkritik. Pedas sekali kata-kata malaikat itu, puisi yang ku kirim adalah puisi terbaikku, ternyata habis di kritisi oleh sang malaikat pengkritisi. Betapa ternyata membuat puisi itu susahnya minta ampun. Bahkan katanya, untuk menemukan sebuah kata, sang Chairil Anwar mesti mencarinya hingga ke dalam tulang sum-sumnya berbulan-bulan lamanya, masya Allah.

Bagi seorang seperti ku atau orang-orang lain yang sepertiku pula, terutama yang baru belajar menulis puisi, ternyata, puisi-puisi yang di buat hanyalah puisi-puisi egois, karena pasti bercerita mengenai 'aku', tiada yang lain.

Sang malaikat menambahkan, puisi-puisi yang ada belum mencerminkan penggalian kegelisahan di dalam hati yang dahsyat (apa coba ...?). Dan memang seharusnya seperti itu, ada paduan antara : judul, isi, klimaks, metafor, deskripsi, epik, suasana, perasaan, dan bejubel paduan yang lain dalam pembuatan sebuah puisi (makin pusing saja aku !)
Satu lagi, seorang penulis puisi kata sang malaikat merupakan kepanjangan tangan Tuhan. Karenanya seorang pembaca bisa mendapatkan perenungan yang paling dalam (iya juga ya ..)

Insya Allah, kedepan puisi-puisi yang akan aku tulis merupakan kata-kata dari dalam tulang rusukku, yang mencerminkan kegelisahan yang terdahsyat, bukan seputar aku atas cinta atau cita-cita, tapi atas dasar kemanusiaan seluruhnya, ketuhanan seutuhnya, dan juga sebagai sarana untuk mendobrak hati manusia yang membacanya, insya Allah.

Berkahi dan istiqomahkanlah aku ya.. Allah...
Aminn....

KEPODANG TERUMBU

melarung jauh,
kepodang petang tinggalkan pelabuhan
diiringinya kapal nelayan
pergi menderu

bergugus ombak, dipandangnya lekat
beribu pukat, terjerembab,
pada dasar biru
bergemuruh

ada satu ikan tertangkap
menggeliat-geliat
sementara puluhan terumbu
membisu
indahnya di rundung mesiu
hancur tergugu

sang kepodang masih melayang
meliuk-liuk mengutuk nelayan
pada awan ia sampaikan
turunkanlah hujan dengan badai yang berkejaran
tak tega ia saksikan terumbu kesakitan